obrolan gagal sunset di menara tele

suasana malam di menara
travel date: 25 oktober 2013

"let yourself, go
 don't worry about a thing
 breakin' the chains, so hard to begin
 follow your heart, don't be afraid
"

#hideaway-the corrs


trip senang-senang ternyata tidak berumur panjang. dalam perjalanan ke menara pandang tele ternyata sebuah hambatan terjadi. bersitegang dengan supir angkot yang menetapkan harga lebih mahal dari info yang ada. kode-kodean dengan penumpang di angkot seperti na memang tarif yang diminta supir terlalu mahal dan yang rhe tawar adalah tarif yang wajar. jangan mentang-mentang rhe cewe' jawa sendirian trus mo nyerah takut gitu aja ya. duit itu nyawa di sini, ga punya duit mo survival pake apa. so, wajib hemat dan berani nawar! :D


how to get there:
- cari angkutan ke simpang tiga merek. kebetulan bentor yang rhe naiki memang di-book untuk mengantar sampai ke sini dai sipiso-piso. kalo kabanjahe naik angkot sepadan turun di simpang tiga merek. simpang tiga ini dilewati juga kalo mau ke sigalih.
- naik angkot sampri dengan rute medan-pangururan turun di menara tele (30ribu). ini angkot satu-satu na yang bisa digunakan untuk sampai ke tele, wajar kalo harga na dimonopoli
jangan setuju begitu saja dengan harga yang mereka tawarkan. hasil ngobrol dengan backpacker dari riau, mereka kagum dengan kemampuan nawar rhe cz mereka dikenakan tarif 60ribu untuk sampai ke pangururan.

keberuntungan lain adalah rhe ga perlu nunggu angkot, pas rhe dateng pas angkot na tinggal nunggu 1 orang lagi. mesin angkot langsung dinyalakan begitu harga disepakati setelah kelar perang harga. sedangkan backpacker riau yang bareng naik angkot ini sudah menunggu angkot sampri selama 1,5 jam. ckckck....

ngobrol tentang perjalanan di sumatera ternyata 2 orang backpcaker riau ini lebih koper daripada ransel. mereka menghabiskan 2 hari untuk bermalam di pemandian air panas gunung sibayak dan sedang dalam perjalanan ke pangururan. sempat dibujuk langsung lanjut pangururan biar bisa share cost penginapan tapi rhe tolak. masih pengen memandang sunset danau toba dari menara pandang tele yang kata na memberikan view terbaik na.

perjalanan ke tele hampir sama dengan perjalanan ke berastagi, meliuk-liuk dan penuh lubang yang dihajar sadis oleh sopir na. ini adalah perjalanan paling menyeramkan karena menghadirkan view suasana perbatasan. antara miris, sedih atau justru bangga. melihat kondisi sepanjang perjalanan kalo ga hutan gersang, tanah tandus atau pemukiman penduduk yang berbeda dengan rumah-rumah di jawa. 

rumah penduduk mayoritas terbuat dari kayu beratap seng dengan halaman tandus yang tidak diolah atau dimanfaatkan. ntah bagaimana mereka bertahan dengan kondisi seperti itu. perkebunan hijau yang menutup kabanjahe sebelum na tidak ditemukan sama sekali di sini. semakin mendekati tele, pemandangan berganti dengan semacam waduk atau sungai yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. hanya saja kondisi na tidak terawat dengan air na yang bewarna htam. sungguh pemandangan membosankan di dalam angkot yang penuh sesak dan bau rokok. perjalanan ke tele -hanya perasaan atau memang- lama.
warung yang merangkap penginapan
hujan turun sebelum rhe sampai ke menara tele. hasil na adalah kabut tebal yang menutupi pemandangan ke danau toba. menunda mengeksplor tele lebih lanjut untuk sejenak menghangatkan badah di warung. karena tele terletak di tengah rute medan pangururan maka yang banyak 'mangkal' di sini adalah supir truk. dan ternyata mereka adalah orang-orang ramah yang dengan senang hari diajak ngobrol. 

bermula dari daftar kunjungan di sumatera utara yang mereka tanggapi sampai ke adat istiadat setempat. bagaimana orang batak toba masih banyak yang berada di batas kemiskinan karena mereka yang sudah sukses di perantauan tidak kembali lagi untuk memajukan daerah na. bagaimana samosir -yang menurut rhe punya potensi wisata besar- justru menjadi kabupaten paling miskin karena tidak ada peran pemerintah di dalam na. jadi teringat bali yang dengan pesona wisata na yang diolah bersama budayawan, pelaku bisnis dan pemerintah akhir na membawa dan mempertahankan bali sebagai tujuan wisata internasional. sedangkan samosir... tampak hanya seperti anak tiri yang berprestasi, akan dilihat pemerintah ketika ada event besar saja. selebih na dibiarkan dalam pengasuhan orang lain atau justru bertahan hidup secara mandiri.

hal ini diperparah dengan keturunan mereka yang sudah keluar dari samosir dan tidak kembali ke kampung halaman. syukur bisa berkunjung setahun sekali dalam perayaan tahun baru, bahkan beberapa orang hanya datang saat prosesi penguburan kerabat saja karena memang adat batak yang membuat mereka dimakamkan di tanah leluhur. pemandangan inilah yang nanti na menemami rhe dalam perjalanan mengitari samosir, bahwa rumah masa depan aka makam mendapat perlakuan lebih dibanding rumah yang mereka huni saat ini. makam-makam ini relatif lebih bagus dan megah dibanding rumah mereka yang masih terbuat dari kayu.


tanpa terasa hari semakin larut. berniat menginap di warung depan menara dengan tarif 60ribu per malam. tapi setelah melihat kondisi na, seperti harus mencari penginapan lain. kalo ada bintang, rhe milih ga kasih sama sekali, kalo bisa minus mah minus dah :D. kamar mandi usang penuh jentik nyamuk dan tanpa penerangan. kamar na? ukuran na pas untuk 1 bed dengan dinding tripleks dan jendela yang tidak bisa ditutup penuh. belum lagi selimut tua yang ada laba-laba na. jarak penginapan dengan rumah utama juga lumayan jauh dengan jalanan gelap. jujur, rhe ga berani tidur sendirian di sini -ada temen aja mikir-. akhir na mumpung belum terlalu larut, lanjut ke pangururan untuk mencari penginapan lain berhubung di sini tidak ada pemukiman yang arti na ga mungkin ada penginapan lain. 
-***-
related posts: 
NewerStories OlderStories Home

0 comments:

Post a Comment